Wamena, 22 Desember 2014. Jika
sebelumnya terjadi penembakan dan pembunuhan tragis pada awal desember 2014
lalu dan lebih dari empat jiwa pelajar siswa SMA dan beberapa
luka-luka, di kabupaten pania maka, kali ini giliran wamena yang mengucapkan SELAMAT DUKA PADA BULAN NATAL.
Kembali terjadi keributan massa pada
tanggal, 19-21 dst pada bulan desember 2014 yang berujung pada perang suku yang
membengkak hingga kejatuhan korban yang berjumlah 35 jiwa manusia. Kasus ini
berawal dari musibah (kecelakaan) yang menimpah seorang Kepala Sekolah Menegah
Pertama (KEPSEK-SMP) setempat, beserta kedua anaknya, yang mana KEPSEK tersebut dinyatakan meninggal dunia
pada hari itupula, kemudian kedua buah hatinya dilarikan ke Rumah Sakit Umum
Daerah (RSUD) Wamena dengan kondisi darurat. Sangat di sayangkan sebab situasi
ini terus berlanjut hingga membuat seantero warga kabupaten Jayawijaya panik,
ketakutan bahkan berduka karena banyak yang terbunuh.
Sementara tidak ada pihak POLRI
yang turun ke tempat kejadian perkara (TKP) untuk mengondusifkan situasi bahkan
tidak ditemukannya perintah Kepala Kepolisian Resort (Kapolres) Jayawijaya untuk
segera bertindak tegas mengembalikan suasan natal, sehingga yang terjadi adalah
Bulan Natal Berubah Warna Menjadi Bulan
Duka bagi indigenous people (masyarakat pribumi) di seluruh pelososk negeri cenderawasih.
Pertanyaannya adalah, Tugas Pokok Fungsi (TUPOKSI POLR) di papua ini, apakah
untuk menyetujui perang suku, bahkan mereka terlibat aktif dalam membunuh dan
memusnahkan? Lalu bagaiman dengan slogan keamanan yang di gembar-gemborkan
bahwa "polisi sebagai pelindung dan pengayom rakyat kecil"? Apakah masyaarakat
pribumi tidak harus dilindungi polisi dari hal-hal yang merugikan rakyat?
Apakah TNI/POLRI yang ada bertugas khusus bagi masyarakat amber/pendatang,
sehingga selalu berfokus utaman pada hak-hak pedatang yang sebenarnya tidak
esensial sambil melalaikan hak-hak hidup rakyat pribumi ?
Bila, dilihat dari semua segi
persoalan yang ada dan merajalela di seluruh pelososk Papua, maka TNI/POLRI
GAGAL membangun Papua. Sebab kedatangan mereka justru memperlebar pelanggaran
HAM, membuka ruang besar-besar untuk rakyat saling membunuh, mencelakai sesama,
bahkan mereka (TNI/POLRI) terlibat sebagai pelaku pelangaran HAM. Kalau sebelum
adanya tank-tank/post TNI/POLRI di daerah pedalaman Papua maka boleh dikata
pelanggaran HAM ringan sajalah yang di kenal misalya, mencuri, saling baku
rebut kebun dll, tetapi apa yang terjadi ketika adanya TNI/POLRI mulai tersebar
ke tempat-tempat itu? Yang terjadi adalah:
1. Mengambil alih kewenangan
seorang Kepala kampung dan jajarannya serta mengambil alih ruang gerak warga dengan
mengikat habis pasal-pasal dan UU darurat POLRI. Seorang kepala kampung yang
dulunya bertugas dan bertanggung jawab atas persoalan yang ada dalam rakyat
yang dipimpinnya kini mersa tidak berarti, sebab intervensi militer mengambil
alih tugasnya, sebab dari semua persoalan yang berkembang, warga sudah tidak
mengakui lagi adanya kepala kampung tetapi pengaduan selalu pada pihak polisi.
Sehingga banyak warga yang dipenjarakan di dalam trali besi dengan alasan yang
tidak masuk akal dengan pernyataan pelangggar UU darurat dan lain sebagainya,
bahkan sampai-sampai kepala kampung yang terlalu banyak merasa tidak berfungsi
melainkan menghabiskan uang rakyat tanpa mengerjakan TUPOKSI-nya, bila demikian
halnya maka, sebainya pemerintah meniadakan saja keberadaan kepala-kepala kampung yang terlalu banyak jumlahnya ini.
2. Banyak warga yang tidak terima
adanya militer lakukan perlawanan/protes tetapi para militer meresponinya
dengan peluru senjata tajam yang merengut nyawa. Meliaht dari realita utama,
kebanyakan warga tidak sepakat adanya militer di daerah terpencil hingga
melakukan protes secara damai, malahan sebagian warga diresponi dengan peluruh
senjata tajam militer yang menimbulkan kepanikan warga hingga ketakutan dengan
persepsi mereka, bahwa bila melakukan protes terhadap militer sama halnya menjual
nyawa terlalu murah. Sangat disayangkan bila pemerintahan yang ada menyetujui
kehadiran militer di daerah terpencil karena itu sama halnya kepala daerah
setempat di Papua, yang adalah putra daerah balik menjual belikan rakyatnya ke
tangan militer, bila mereka para elit lokal Bupati dan DPRD hanya membutuhkan
rakyatnya saat-saat tertentu yaitu saat diamana pemilukada dan lain
kepentingannya dan setelah musim itu beralu rakyat bukan lagi jadi perebutan
para kandidat-kandidat bupati dan wakil rakyat tetapi rakyat lebih dijadikan
sampah yang layaknya dibuang, kalau memang demikian tujuan utama kehadiran pemerintahan republik indonesia di papua,
hanya untuk membunuh, memusnahkan, serta menuntas habis eksistensi rakyat
pribumi dari atas tanah Papua.
3. Banyak permasalahan jadi
tontonan para militer bahkan tidak bertindak adil dalam menyelesaiakan. Dengan
lahirnya beribu saham dan pengusaha serta para elit berkepentingan lainnya,
dapat menciptakan keributan warga, yang mana banyak warga terutama muda-mudi
terpengaruh dengan alkohol, perjudian dan lain tawarannya yang berakhir di
tangan militer dengan kasus-kasus tuduhannya di jadikan bahan tontonan di dalam
trali besi dengan menguras habis biaya, waktu, dan tenaga milik rakyat. Betapa
ngerihnya melihat situasi ini, tidak ada satupun produk hukum yang di cetuskan
wakil rakyat yang memihak pada rakyatnya, tetapi lebih menguntungkan para elit
kepentingan. Ratap tangis rakyat serta pertumpahan darah rakyat yang tak
bersdosa dan penindasan kaum tertindas terus melebarluas di atas tanah Papua
akan tetapi para tokoh gerejapun terus-menerus melipat tangan. Belum
terlihatnya suara kenabian kaum gerejawan diantara penderitaan dan penindasan, yang
adapun semakin pudar. Tidaklah cukup seorang pendeta atau pastor hanya
berkhotbah diatas altar/mimbar sebab banyak yang menderita, rakyat kecil
membutuhkan tindakan nyata dari semua pihak yang pro-rakyat, kalau semua
membisu, mau kemanakan eksistensi kaum tertindas, rakyat pribumi di atas tana
ini.
4. Melakukan proyek-proyek yang
merengut nyawa warga pribumi demi kenaikan pangkat dan jabatan penting. Terlalu
banyaknya proyek dan liang-liang kubur yang di rancang militer dengan
memberikan stiga papua gunung, papua pante, teroris OPM dan liannya membuat
kebanyakan warga yang terus dijadikan objek/lahan persoalan demi kepentingan sepihak, dengan demikian banyak
terjadi keributan warga dengan mempertahankan egonya. Sudah begitu barulah
militer intervensi sebagai pihak ketiga seolah dia berlaku sebagai pahlawan
tanpa ada satupun yang mengungkap kelicikan militer sampai-sampai rakyat
terkecil terlalu percaya kemunafikan militer hingga ada persoalan sepeleh
sedikit-sedikit mengadu ke pihak militer yang nantinya berbalik menguras energi
para kaum tertindas di atas tanahnya. Seakan kelayakan eksistensi kehidupan
rakyat pribumi di tanah ini sudah di kebiri oleh kepentingan para elit tak
bertanggung jawab. Sampai generasi ini tidak terlihat sama sekali titik terang
arah kehidupan orang Papua, rakyat tertindas sudah tidak bebas dan nantinya
"akan mati bagaikan kematian tikus diantara lumbung padi/beras", semua ini diakibatkan
oleh beranekaragam teror, intimidasi, serta penindasan, ketidak perpihakan
kepada rakyat. Sudah demikian hidup orang Papua, penderitaan ini menjadi barang
tontonan bagi gereja dan semua pihak yang seharusnya bertanggung jawab.
Itula tugas para militer
indonesia yang keluar dari koridor dan tatanannya. Fakta nyata kehidupan
manusia di seluruh pelosok bumi cenderawasih berkembang tidak stabil hanya karena
salah mengerti dan salah menempatkan diri serta penerapan sistem yang tidak
memihak pada rakyat terkecil. Hanya karena keterpaksaan rakyat Papua merayakan
hari kelahiran Sang Penebus manusia sambil berdukacita ramai-ramai.
Setelah mencermati dinamika sosial yang ada, selayaknya kaum tertindas bangkit
dan lawan sampai pada hari yang mana semua orang terlepas dari segala belenggu
dan bebas tersenyum diatas tanahnya Papua.
Terima Kasih!
By:
V_Q
Comments