Skip to main content

Pojok Kacamata Aktivis Uncen Seputar Otsus Papua/UU 21

FAKTA UNIK DALAM BINGKAI
 OTONOMI  KHUSUS PAPUA

Otonomi Khusus Merupakan, kesatuan dua kata yang yang terpisah secara alfabetnya ataupun penamaan katanya, secara eksplisitnya adalah: a) Otonomi & b) Khusus. Otonomi menurut harfiahnya sebagaimana tercantum dalam kamus besar bahasa apapun di dunia ini, dan dalam bentuk terjemahan apapun maknanya tidak akan jauh beda daripada makna kata dari kamus besar bahasa Indonesia, bahwa otonomi berasal dari kata dasarnya adalah otonom yang berarti bahwa berdiri sendiri; dengan pemerintahan sendiri, bahkan dengan adanya system pemerintahan RI yang sudah berubah dari sentralisasi menjadi desentralisasi, jelas bahwa otonomi daerah yang artinya, hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan undang-undang yang berlaku. Secara komperhensifnya otonmi dapat di definisikan sedemikian rupa. Nah, lalu bagaimana dengan kata khusus? Khusus seperti yang terpampang di dalam kamus bahasa Indonesia bahwa: Kas, Istimewa, special. Dalam artian bahwa kata khusus mengarahkan kita dapat menganalisa secara lazimnya bahwa sesuatu yang istimewa.  Bila, kedua kata ini, yakni OTONOMI & KHUSUS disatu padukan maka, terjadilah sebuah pengertian yang luas secara supremasi bahasanya bahwa: hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan undang-undang yang berlaku, dan pemberlakuan daerah ini seistimewa adanya.
Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang diberi Otonomi Khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi Khusus sendiri adalah kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua, termasuk provinsi-provinsi hasil pemekaran dari Provinsi Papua, untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua. Otonomi ini diberikan oleh Negara Republik Indonesia melalui Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 (LN 2001 No. 135 TLN No 4151).Hal-hal mendasar yang menjadi isi Undang-undang ini adalah:
  • Pertama, pengaturan kewenangan antara Pemerintah dengan Pemerintah Provinsi Papua serta penerapan kewenangan tersebut di Provinsi Papua yang dilakukan dengan kekhususan;
  • Kedua, pengakuan dan penghormatan hak-hak dasar orang asli Papua serta pemberdayaannya secara strategis dan mendasar; dan
  • Ketiga, mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik yang berciri:
1.   partisipasi rakyat sebesar-besarnya dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan dalam penyelenggaraan pemerintahan serta pelaksanaan pembangunan melalui keikutsertaan para wakil adat, agama, dan kaum perempuan;
2.  pelaksanaan pembangunan yang diarahkan sebesar-besarnya untuk memenuhi kebutuhan dasar penduduk asli Papua pada khususnya dan penduduk Provinsi Papua pada umumnya dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, pembangunan berkelanjutan, berkeadilan dan bermanfaat langsung bagi masyarakat; dan
3.  penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan yang transparan dan bertanggungjawab kepada masyarakat.
  • Keempat, pembagian wewenang, tugas, dan tanggung jawab yang tegas dan jelas antara badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, serta Majelis Rakyat Papua sebagai representasi kultural penduduk asli Papua yang diberikan kewenangan tertentu.
Namun demikian, realisasi otonomi khusus di Papua tidak sejalan dengan tujuan hadirnya. Kalau begitu, bagaimana dan dimana terlihat wujud/letak lahirnya suatu keistimewaan bagi Papua melalui UU 21 Tahun 2001?
 Keistimewaan dalam pemberlakuan otonomi khusus daerah di Papua sesuai UU No 21 Tahun 2001 tentang otonomi khusus papua ini, apakah telah menjawab serta memperbaiki beranekargam kesenjangan sosisal yang melanda rakyat papua seutuhnya? ataukah justru keistimewaan otonomi ini di salah tafsirkan, sehingga tercipta suatu situasi yang terbalik pengertian otonomi khususnya yang akhirnya boleh di kata Papua ZONA DARURAT?  Bila, otonomi khusus tersebut di salahtafsirkan, maka langkah apa yang harus di lakukan agar penafsiranya terarah dan jelas pada sasaran sesuai tujuan dan sasarannya?
Agar, dapat menyimak pertanyaan-pertanyaan diatas, maka! Marilah kita telususri darimana dan oleh siapa otsus Papua itu terlahir, serta penulis mengajak pembaca sekalian untuk mencermati dinamika Social, Ekonomi, Kesehatan, pendidikan di tanah Papua. Secara garis besarnya pembaca di persilahkan untuk menikmati Papua dengan berjalan di kota mana saja untuk mencari pembuktian nyata anda terutama mengunjungi tempat pemukiman warga, pasar-pasar, puskesmas atau rumah sakit serta persekolahan yang ada di seluruh pelosok tanah Papua. Bila ada sesuatu yang unik maka, tariklah suatu kesimpulan dengan perspektif anda bahawa; apakah Otonomi Khusus Papua ± satu decade ini benar-benar sukses ataukah gagal membangun Papua ini, buatpulah sebuah kesimpulan sesuai pengamatan anda tentang mau kearah manakan rakyat jelata di atas tanah ini. 


Bagian 1:
ASAL-USUL OTONOMI KHUSUS PAPUA
UU NO 21 TAHUN 2001 TENTANG OTONOMI KHUSUS BAGI PAPUA.
 Sebenarnya adalah sebuah jaminan pembangunan bagi bangsa Papua Barat yang masa aktivasinya 25 tahun, terhitung sejak aneksasi bangsa Papua ke dalam bingkai NKRI sejak 1963-1988, sesuai roma agreement pada 30 september 1962.
 Isi dari pernjanjian Roma memuat beberapa pokok penting, salah satu yang menonjol adalah seperti yang di kutip dalam sebuah buku (Pemusnahan etnis Melanesia hal. 78; oleh Gembala Socratez Sofyan Yoman 2006). Di sana, ia mengatakan tentang dana penunjang pembangunan Papua Barat selama 25 tahun dalam bingkai NKRI demikian “Pemerintah Amerika serikat menunjang dengan menyediakan dana sebesar US$ 25 juta setiap tahun” terhitung 25 tahun sejak 1963-1988. Akan tetapi realita yang di hadapi orang Papua berkata lain, sebab dana US$ 25 Juta tiap tahun ini tidak di realisasikan sejak 1963-1988 silam, mengapa? Suatu kemungkinan bahwa pemerintah NKRI waktu itu menilai orang Papua belum bisa berbuat apa-apa  sehingga dia (NKRI) menahan dana tersebut sampai baru terealisasi pada tahun 2001 silam dalam bentuk UU no 21 2001 tentang OTSUS PAPUA. Dan terealisasinya dana US$ 25 juta inipun muncul, saat-saat orang Papua mengerti bahwa orang Papua ada di bawah kolong penjajahan, sehingga meluap aurah Merdeka yakni terpisah dari NKRI yang begitu ekstrim dalam negeri Kasuari bumi Cenderawasih di sertai sebuah tindakan nyata dari tim 100 yang membawa tuntutan bangsa Papua barat pada 29 februari 1999 kepada president republic Indonesia, Prof. Dr. B.J.Habibie di Istana Negara RI di Jakarta. Serta Musyawarah Besar bangsa Papua barat di hotel sentani indah, pada 23-26 Februari 2000 dan Konggres Nasional II di Gedung Olah Raga (GOR) Jayapura, pada 26 Mei - 04 Juni 2000, bahwa tuntutannya sama yaitu:

“Kami bangsa Papua Barat berkehendak keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk merdeka dan berdaulat penuh diantara bangsa-bangsa lain di bumi. Pemerintah republic Indonesia mengakui kedaulatan bangsa Papua tanggal 01 desember 1961. Rakyat dan bangsa Papua menolak New York agreement 15 agustus 1962 karena cacat hukum dan cacat moral sebab tidak melibatkan wakil-wakil bangsa Papua (dalam perjanjian new York tersebut). Menolak hasil pepera 1969, karena dilaksanakan di bawah ancaman, intimidasi dan pembunuhan sadis, kekerasan militer, dan perbuatan-perbuatan amoral di luar batas-batas perikemanusiaan. Indonesia, Belanda dan Amerika serikat, dan PBB harus mengakui hak politik dan kedaulatan bangsa Papua Barat yang sah berdasarkan kajian sejarah, hukum dan social budaya”
(Socrtez Sofyan Yoman: Otonomi Khusus Papua Telah Gagal, Hal.120)

Tuntutan diatas memperlihatkan dengan jelas bahwa rakyat dan bangsa Papua Barat mau berdiri sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat di atas tanah leluhurnya. Tentu saja, tuntutan seperti ini tidak di terima oleh oleh pemerintah republic Indonesia, dengan demikian NKRI memadamkannya dengan UU No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua tersebut. Akan tetapi hal ini tidak dapat di sadari baik oleh para keterwakilan rakyat/parlement di Dewan Perwakilan Rakyat Papua, serta Majelis Rakyat Papua. Sebab dua lembaga ini merupakan lembaga legislative yang berkewenangan mencetus produk hukum bagi propinsi Papua serta lembaga representative kultur orang Papua yang sudah selayaknya melangsungkan keperpihakannya dalam sebuah wujudnyata bukan sebuah janji atau pidato angin surga belaka, yang justru merong-rong dan menghimpit kehidupan orang Papua diatas kekayaan alamnya.

Perspektif petingginya atau para elit propinsi Papua terhadap betapa ironisnya NKRI dalam membangun Papua sesuai segala macam agreement yang pernah ada seperti New York Agreement, Roma Agreement dan lainnya yang dinilai telah basi dan cacat hukum internasionalpun terus memberi toleransi, sehingga tidaklah salah bila ada sebuah pernyataan bila: “Petinggi Papua yang adalah mayoritas putra/i daerah justru menari-nari diatas penderitaan rakyat bangsa Papua barat.

Tanggal 1 Mei 1963 adalah sejarah kemengan bagi bangsa indonesia. Sementara bagi orang Papua tanggal 1 Mei 1963 adalah awal malapetaka dan pemusnahan etnis Papua dan ras Melanesia. Sebab, sebelum orang-orang Papua menyatakan pilihannya dalam Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969, setidaknya dana bantuan Amerika serikat untuk jaminan bangsa Papua Barat itu sudah berakhir masa aktivasinya satu tahun sebelum PEPERA 1969 yakni 1968; tetapi ralita berkata lain akhirnya dana ini titahan sampai baru di salurkan sejak 2001 sila dalam wujud OTSUS yang kita kenal sekarang sudah gagal, padahal investasi PT. Freeport Indonesia serta ekplorasi hutan rimba di Papua demi menggaruk perut bumi Papua guna memperkaya para elit dunia sudah terjadi sejak 1967 keatas dua tahun sebelum PEPERA. Itu artinya bahwa suatu pembodohan yang sedang terjadi namun orang Papua seolah buta, bisul tumbuh subur di ujung hidung yang memang tak manjung. Pertanyaannya, apa prioritas utaman OTSUS itu? dan bagaiamana realisasinya selama ± beberapa decade yang berlangsung? Selebihnya kita simak sebagian kecil dari tujuan utama otsus yang di manipulasikan dalam bentuk tiga pilar utama yakni Ekonomi, Kesehatan dan Pendidikan.


Bagian 2:
Ekonomi Orang Papua
Hingga 2015, masyarakat asli Papua terus bergumul dengan persoalan kemiskinan diatas tanah yang menghasilkan devisa besar bagi pendapatan nasional Negara Indonesia. Menurut Markus Haluk dalam bukunya yang berjudul ‘Mati Atau Hidup’ data angka kemiskinan di Papua mencapai 480.578 rumah tangga, 81,52% atau kurang lebih 391.767 di golongkan rumah tangga miskin atau miskin absolute. Menurut badan pusat statistic Propinsi Papua, sejumlah 486.857 dari 604.922 rumah tangga di Papua atau 80 % berada dalam kondisi miskin dan miskin absolute.

 Dampaknya dapat terlihat pada rendahnya angka indeks pembangunan manusia untuk Papua yang secara nasional berada di lapisan terbawa dari propinsi lain di Indonesia, berkisar 55,5 hingga 63,8 tahun usia harapan hidup. Tingkat perkembangan kegiatan ekonnomi daerah perkotaan di Papua dalam wujud menjamurnya pembangunan ruko-ruko, mall, dan hotel, tidak dapat menjadi ukuran kemajuan karena hanya dimiliki oleh segelintir atau mayoritas orang pendatang. Sebagian besar masyarakat mengalami marjinalisasi, seperti yang dialami mama-mama pedagang asli Papua yang duduk berjualan diatas aspal dan tanah berbecek. Derasnya arus migrant juga memperburuk dan mempersempit kesempatan dan kondisi ekonomi orang asli Papua. Pertanyaanya, pemerintah daerah yang di juluki keterwakilan rakyat yang harusnya membela rakyat malahan melihat situasi seperti ini terus dibiarkan? Berikut fakta unik terjadinya marjinalisasi dan peningkatan angka kemiskinan orang asli Papua diatas kekayaan alamnya.

a.  Pengambil Alihan Tempat & Produk Dagang, Mama-mama Papua Sengsara

Salah satu bagian yang tidak dapat di pisahkan dari pemusnahan pertumbuhan kehidupan ekonomi orang  asli Papua adalah, pengambil alihan tempat perdagangan dan produk dagang sumber daya alam (SDA) orang Papua, berangkat dari fakta-fakta unik sepanjang keberadaan otsus Papua misalnya:

Tempat-tempat perdagangan orang asli Papua dikuasai non-Papua. Menurut pengamatan penulis bahwa, sebenarnya mama orang-orang Papua terus di persulit, dan terus di hambat oleh kaum minoritas (pendatang) di Papua. Contoh-contoh kecil yang harus di simak baik sesuai akal berfikir manusia diserta pemahaman nurani bahwa dimana-mana di setiap orang Papua berjualan pasti di pinggir-pinggir ruko, toko, mall dan lain sebagainya. Akan tetapi orang-orang Papua yang berdagang di pinggiran menganggap itu biasa, bahkan merasa terbiasa dengan situasi demikian tanpa berfikir panjang akan betapa berharganya orang Papua diatas tanah leluhurnya, lebih parahnya lagi, bila setiap penggagas hukum pun tidak memahami betapa terhimpitnya rakyat kecil yang selayaknya di selamatkan.

 Kalau demikian, untuk apa ada Otsus? Setelah melakukan sebuah percakapan singkat dengan penjual-penjual pinggiran, ternyata mereka tidak merasa di persulit. Memang aneh, sebenarnya virus pemusnahan ekonomi apa yang sedang menimpah orang Papua sampai merasa sudah layak menyerahkan segala-galanya bagi mereka yang pendatang, entah darimana asal-usulnya? Situasi dilematis ini sangat tidak meyakinkan kita untuk heran, bangga ataupun senang.

Apakah Hak Asasi Manusia asing tidak harus menghargai Hak Asasi Manusia Pribumi dan kewajibannya terhadap masyarakat pribumi? Bila hak pendatang adalah mencari nafkah hidup dan pertumbuhan ekonomi sepihak, maka sebaiknya di pulangkan saja, sebab orang Papua mau mendapatkan untung apa dari upaya menjaring angin tersebut? Seharusnya menjadi tanggungjawab mereka adalah bagaimana mengkaderkan orang Papua menjadi pengusaha sukses, dan bahagian ini perlu adanya jaminan hukum yang mengikat serta di control tiap saat dalam mengawasi pertumbuhan ekonmi orang asli Papua. Itu barulah kita berkesimpulan bahwa kerukunan umat beragama dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan di republic ini sukses. Bila tidak, maka sebaiknya pemerintah daerah berkewenangan untuk membubarkan motif pengusaha kepentingan sepihak itu demi keselamatan eksistensi orang Papua.

Yang menjadi pertanyaan setelah menyimak situasi diatas adalah, Bagaimana dan seajauh mana pemerintah Papua menyikapi situasi ini serta mendorong dan merealisasikan aspirasi mama-mama Papua tentang kekhususan tempat atau pusat perdagangan mama Papua yang dipidatokan presiden republic Indonesia yang ke-7 Ir. Joko Widodo dalam pidato angin surganya? Pada 27 Desember 2014 lalu, sebagai berikut: ‘Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan memberikan stan Pasar Phara Sentani di Kabupaten Jayapura, Papua, secara gratis kepada para pedagang. "Ini perlu diingat oleh gubernur dan bupati, pasar diberikan gratis kepada pedagang, tidak ada yang bayar?," tegas Jokowi kepada pedagang dan warga di Pasar Phara Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua, Sabtu (27/12/14). Sebelumnya, Presiden Jokowi menjanjikan pembangunan Pasar Phara Sentani di Kabupaten Jayapura, Papua, selesai Januari 2016. "Pasar ini akan dibangun selama satu tahun. Jadi awal tahun depan (2016), sudah jadi pasar ini," ucap Jokowi kepada pedagang dan warga di Pasar Phara Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua, Sabtu (27/12/14).

"Mama-mama pedagang tolong awasi yah pembangunan ini. Supaya cepat dibangun fisiknya. Kalau pasar ini tidak selesai tepat waktu, saya tidak jadi tahun baru (2016) di sini lagi. Tolong bapak gubernur dan bapak bupati mendengar hal ini," tegas Jokowi. Selain itu, Jokowi juga berjanji kepada para pedagang terutama mama-mama pedagang asli Papua, akan diberi pelatihan manajemen tentang bagaimana berjualan dan akan diberi modal. "Jangan nanti setelah dilatih dan diberi modal, (buat) beli televisi," cetus Jokowi disambut tawa oleh para warga dan pedagang dipasar’. Demikian yang di muat oleh Antara News edisi 28 desember 2014. Maka dari itu, harapan kami selaku rakyat bahwa semoga pembangunan pasar yang di janjikan itu benar-benar dikhususkan bagi mama-mama papua untuk memnjual belikan kekayaan alamnya, bukan untuk mbak-mbak jawa dan seterusnya.

 Sebab selama ini sumber daya alam asli Papua dijual belikan oleh non-Papua, sementara orang Papua menjadi pembeli hebat dalam kemiskinan mereka diatas kekayaan alamnya, juga besar harapan saya agar pemerintah daraha selaku keterwakilan rakyat “harus” menggodog sebuah aturan demi keberlangsungan hidup orang Papua secara menyeluruh dalam sebuah formasi panjang. Selain itu pula, perlu adanya perluasan pasar mama-mama Papua ke seluruh kabupaten kota di jajaran Propinsi Papua yang ada, jangan hanya di Jayapura dan sekitarnya saja.

Selain daripada yang sudah di utarakan, juga perlu adanya penegasan tertentu yang harus di buat dalam bentuk sebuah aturan permanent dan di realisasikan bahwa pelestarian budaya orang Papua harus dijunjung tinggi sesuai kepemilikan, misalnya saja koteka harus di lestarikan oleh masyarakat pegunungan tengah, begitupun cawat, lukisan, dan ukiran/pahatan kayu dan lain jenisnya harus di kembalikan kepada darimana asal usul budaya tersebut. Hal ini harus di lakukan supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan maupun yang sudah sering terjadi seperti sebuah pelechan yang di lakukan artis Indonesia cita citata yang murahan itu dengan ucapannya di muka publik.
Berikut gambar realita di daerah dengan otonomi khusus:


Foto: Penjualan produk asli Papua hasil sumber kebun di jual oleh pedagang non-Papua, di pasar baru sentani

Foto: Mama-mama Papua menjual sayur di pinggiran kios milik pendatang, seolah mama-mama bagai pendatang.
 


b.  Pedagang Kaki Lima

Dalam upaya memperpanjang rantai kehidupan tentu banyak sekali usaha-usaha pencaharian hidup yang di lakukan insan di seluruh muka bumi, tidak menutup kemungkinan bahwa, dalam sejarah kehidupan manusia tentu setiap insan menafkahi kerukunan, kekeluargaan bahkan kekekrabatan.

Beraneka ragam mata pencaharian yang dilakukan manusia baik halal maupun haram, tidak terlepas dari seluruh upaya diatas tentu kita sebagai manusia Indonesia terlebih khusus Papuapun turut berpartisipasi dalam hal tersebut. Ironisnya adalah sebagian dari usaha menafkahi diri tersebut terkesan banyak yang keluar dari gerbang kewajaran dagang yang seolah merugikan sebagian besar penduduk masyarakat pribumi, yang mana disebut sebagai pedagang kaki lima; misalnya: Penjual Bakso, Penjual Pentolan, Penjual Sayur, ES Krim, Ikan dan lain sebagainya, yang berjualan berkeliling kota yang didominasi oleh masyarakat pendatang.

Sebab, mereka yang di sebut pedagang kaki lima terbukti sangat tidak berkontribusi baik  bagi rakyat sekitar selain memeras uang rakyat (Memiskinkan) dan merugikan (mengganggu) kenyamanan eksistensi  rakyat setempat dimana mereka (pedagang kaki lima) beroperasi. Mengapa demikian? Sebab, terlihat beberapa kasus bahwa:

Pertama, pedagang kaki lima secara sadar atau tidak megambil alih apa yang seharusnya di lakukan masyarakt setempat; seperti menjual sayur dan ikan merupakan sebuah usaha perdagangan local yang seharusnya dilakukan oleh masyarakat setempat atau mereka yang punya kekayaan alam di seluruh tanah Papua. Akan tetapi karena pengambil alihan tersebut meminimalizir daya dagang masyarakat setempat, yang nantinya berakibat fatal pada meningkatnya tingkat kemiskinan bagi rakyat pribumi. Sebab masyarakt setempat tidak tahu mau kerja apa selain mencari pekerjaan yang menguras tenaga bahkan menjadi pengangguran, ironisnya lagi adalah masyarakat pribumi yang seharunya menjadi pengelolah serta penawar (barter)  kekayaan alamnya tadi kepada kaum pendatang sesuai kebutuhan hidupnya, justru menjadi pembeli kepemilikannya dari mereka yang menjadi pedagang kaki lima, yang sebenarnya mereka (pendatang) yang datang tidak tahu entah darimana, serta tidak membawa sedikitpun sejingkal tanah bahkan kekayaan alam dari mana dia berasal. Ini merupakan kasus pertama yang perlu di perhatikan para penggagas hukum di negeri ini, apalagi landasannya ada otonomi khusus Papua sesuai UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua.

Kedua, tidak menutup kemungkinan tentang keunikan fenomena yang ada membuktikan bahwa, terlihat terlalu banyak penjual/ pedagang kaki lima seperti penjual bakso, es krim, dan pentolan, sol sepatu, dan lain sebagainya yang termasuk dalam sebutan pedang kaki lima adalah satuan kelompok pemeras sekaligus pemusnah harta dan eksistensi orang Papua yang sangat mengancam ruang gerak orang Papua, yang berlangsung lama sejak mereka menginjakan kaki pertama di Papua. Mengapa demikian? Sebab, keberadaan dan kehadiran mereka secara tidak langsung juga dengan misi-misi tertentu yang di rancang dalam bentuk sebuah malapetaka bagi eksistensi orang Papua, kan kita sebetulnya tidak begitu benar mengetahui isi hati orang; misalnya, karena tidak tersedianya tempat penjualan khusus bagi mereka akhirnya mereka berjalan keliling menjual barang dagangan mereka, dengan demikian anak-anak bahkan orang dewasa yang dapat membeli mengonsumsi barang dagangan tersebut yang pasti mengalami kerugian besar dalam hal financial, gangguan kesehatan. Sebab, suatu proses tejadinya makan adalah  melalui interaksi panca indera manusia, seperti mata yang melihat makanan yang lezat, hidung yang mencium aroma makanan/hasil dagangan, dan lidah yang karena pernah merasakan bahan dagangan tersebut serta telinga yang mendengar datangnya dagangan, tentu rakyat jelata akan mengonsumsikannya dalam jumlah yang banyak ataupun sedikit tergantung kemampuan ekonomi mereka tanpa berpikir panjang akan uang jajan anak-anak sekolah, uang yang seharusnya di pergunakan untuk menunjang suatu kebutuhan mendasar dan mendesak, bahkan tanpa pedulikan efek samping atau mempertimbangakan kadalwarsa apa tidak, beracun apa tidak.

Dan tenyata barang dangangan itu adalah yang benar-benar sudah kadalwarsa, atau sengaja di racuni mungkin karena emosi atau merasa jengkel terhadap problem individu  pelanggan, wah! Mati sudah tuh rakyat. apalagi sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan misalnya pelanggan-pelanggan yang adalah masyarakat pribumi dan awam tentang pengetahuan kesehatan akan efek samping dari dagangan tersebut yang nantinya keracunan makanan, kemudian lalu mau meminta pertanggungjawaban kepada pengedar dagangan beracun atau kadalwarsa akan semakin tidak mudah bahkan sulit sebab pedagang sedemikian akan hilang jejak setelah berjualan keliling kota, dan disini pelangganpun tidak mengetahui benar dimana dan darimana tempat tinggalnya.

 Sebuah saran, bahwa pemerintah Provinsi Papua yang berlandasan Otsus sebaiknya membuat/menggagas sebuah aturan dalam bentuk perdasi maupun perdasus yang dapat mengatur tentang pengkhususan penjualan pedagang kaki lima, agar regulasi kehidupan rakyat terkondusif dari kebobrokan yang merajalela, misalnya saja pedagang-pedagang ini di tiadakan atau  khususkan di tempat tertentu maka, yang pasti secara sadar atau tidak pemerintah dapat menciptakan sebuah kondisi yang:

Pertama, Memerantas kemiskinan rakyat akar rumput, sebab rakyat Papua yang dengan kekayaan alamnya mereka dapat mengelolanya sendiri tanpa diintervensi budaya luar seperti pedagang kaki lima tetapi perdagangan bernilai budaya local ini terus dilestarikan; misalnya orang Papua yang memiliki sayur atau apapun kebunnya, dapat menjual hasil panenannya sesuai kebutuhan,dan pemilik kolam ikan atau apapun ternaknya di perdagangkan sesuai kebutuhannya juga begitupun lain hasil bumi dan seterusnya. Maka, bisa terjadi pemulihan ekonomi bagi masyarakat kaum pribumi.

Kedua, Mencegah keluarnya uang dari kantong rakyat agar menghemat dan mandiri, bahagian ini perlu di pahami dari berbagai aspek kehidupan manusia Papua, baik dari kebutuhan ekonomi, pendidikan dan kesehatan dan lainnya bahwa financial merupakan salah satu dari kebutuhan terpenting yang ada. Kadangkalah uang terbuang hanya untuk membeli sesuatu yang sebenarnya bukan kebutuhan mendasar tetapi karena interaksi pancar indera akan dagangan yang sementara lewat dapan rumah, yang akhirnya kembali garuk-garuk kepala saat menyadari kebutuhan utamanya padahal uang sudah terlanjur terbuang.

Oleh sebab itu, pemerintahan berbasis otsus sudah seharusnya berkewajiban untuk melindungi rakyatnya dari hal-hal ini. Agar uang tidak terbuang cuma-cuma untuk keperluan yang relative mendasar serta dalam upaya menghapus air mata dan memerantas ratap tangis rakyat dari kemiskinan, hal ini pemerintah harus jeli melihat mengambil langkah-langkah penyelamatan. Sebab, pemerintah adalah wakil Allah dan harus melayani rakyat.

Ketiga, Mencegah terjadinya wabah, atau terjadinya hal-hal yang di luar dugaan dalam hal inipun demikian baiknya bila setiap orang yang ingin melengkapi kebutuhannya apapun bentuk dagangan yang dibutuhkan harus ke tempat perdagangan terpercaya, ataupun pelanggan berlanggan dengan pedagang yang sementara menjual milik dagangannya/sumber-sumber terpercaya seperti di pasar atau tempat-tempat yang sudah di tentukan sesuai peraturan pemerintah. Mengapa? Agar nantinya terjadi sesuatu efek samping maka, pertanggung jawabannya jelas, terarah.

Dan, penyataan ini bukan rekayasa penulis tetapi merupakan adalah suatu ralita dan penglaman buruk, serta sering tejadi sudah terlalu banyak di seluruh pelosok negeri ini, terutama di kalangan rakyat kecil yang tidak berkecukupan untuk mengonsumsi makanan dari sumber terpercaya, seperi mall, supermarket dan lain sebagainya, dan bahagian ini pula yang perlu diperhatikan oleh pemerintah. Pemerintah dalam hal ini, oleh mereka yang berkewenagan untuk menggagas produk hukum dan bagi mereka yang berkewajiban untuk mengeksekusi hukum-hukum yang berlaku sesuai ketetapan kaum legislative dan eksekutif di seluruh pelosok negeri; bila ingin mempertahankan eksistensi rakyat kecil tetapi kalau sudah tidak menyayangi rakyat lagi, maka saran saya! Alangkah baiknya para elit Papua memfasilitasi TNI/POLRI untuk segera menuntas habis keberadaan orang papua secara menyeluruh dan serentak daripada menyiksa dan membunuh rakyatnya dengan membiarkan mereka mengonsumsikan ataupun memberlakukan hal-hal yang tidak wajar tadi dan hilang satu-satu di telan sang waktu.   Jangan hanya mengharapkan kesadaran rakyat akan semua malapetaka kalai pemerintah daerah tidak mampu melingdungi rakyat.

Sebab, lahirnya kesadaran rakyat akar rumput itu bila pemerintah setempat menyediakan lingkungan/ruang gerak kehidupan rakyat yang layak. Itu dulu, barulah mengharapkan kesadaran rakyat akar rumput, kalau pemerintah belum menciptakan suatu lingkungan kehidupan rakyat dengan patokan-patokan tertentu maka, janganlah bermimpi rakyat akan menumbuhkan kesadarannya dengan pidato angin surgamu tanpa tindakan nyata, wahai kapitalis? Rakyat tidak membutuhkan janji tetapi bukti yang di tunggu-tunggu di dalam genggaman maut pemusnah ras melanesia.

c.   Kaderisasi Dalam Perdagangan

Kaderisasi, dalam artian tersendiri adalah bagaimana sebagian menjadi guru bagi yang lain dalam menciptakan suatu kehidupan yang penuh harapan. Tentulah proses pengkaderan adalah sebuah proses yang di lalui setiap insan yang ingin memajukan kehidupan kearah yang lebih kompleks dan bermartabat. Pertanyaannya mengapa hal ini perlu dan penting untuk disinggung dalam pembahasan ini dan kenapa juga haru kader melainkan leader? Jawabannya, tidak lain adalah, suatu kehidupan yang penuh harapan itu akan terjadi bila yang tahu memberitahu yang tidak tahu; itu artinya bahwa ‘manusia memanusiakan manusia’ supaya hal ini harus dan terus terjadi demi kemajuan perkembangan skil ekonomi orang Papua, maka sudah selayaknya ada produk hukum yang mengatur bahagian ini selain tentang balai-balai pelatihan yang sudah ada, sebab belumlah tentu semua orang Papua berbondong-bondong ke balai untuk di kaderkan jadi pengusaha sepeti pengusaha pemilik ruko/toko atau tukang bengkel dan usaha-usaha menonjol lainnya. Sebab, di Papua tidak begitu banyak balai pelatihan dan tangan pemerintah sepertinya tidak panjang untuk dapat menjangkau ke daerah-daerah pedalaman yang terpencil. Sementara, sudah banyak toko, kios, dan ruko, serta bengkel-bengkel. Apa salahnya pemerintah melakukan konvensasi kerja dengan manager-manager pemilik toko, bengkel dan lainnya dengan cara menggodog sebuah aturan hukum tertentu berdasrkan otonomi khusus Papua,  agar setiap orang Papua entah bisa bekerja atau tidak, tahu atau tidak! Perusahaan-perusahaan tersebut tadi, berkewajiban untuk merekrut orang Papua (keriting dan hitam) menjadi karyawan/I tanpa di perbudak, dan pemerintah juga benar-benar memberikan jaminan hukum keselamatan karyawan/I yang akan rela belajar menjadi pengusaha, sebab mereka bukan Tenaga Kerja Indonesia (TKI)!

 Bagian ini penting, agar kelak  pemilik perusahaan kecil ataupun besar mematuhinya dan tidak bertindak sewenangnya. Dan, apabila, hal itu tidak terjadi atau tidak di penuhi pemilik kios, toko, mall dan bengkel-bengkel maka, secara resmi pemerintah menutup tempat-tempat yang tidak ingin mematuhi ketetapan. Dan jangan lupa juga proses control  kerja dalam membangun ekonomi orang Papua; artinya bahwa, produk hukum tentang ini dilahirkan dan di sosialisasikan serta implementasikan agar seluruh elemen masyarakat tahu dan menjalankan, bila tidak maka, masyarakat tinggal lapor pihak  berwajib dan tempat-tempat yang di maksud di tutup paksa.

d.  Transportasi  Angkutan Umum Transmigrasi

Mungkin, kawan-kawan akan heran, mengapa bahagian ini dianggap penulis begitu penting untuk disimak dalam konteks Otsus? Yang pertama saya ingin menyampaikan bahwa, pintu masuk dan pekerjaan pertama datangnya para transmigrasi adalah transportasi angkutan umum. Yang kedua saya ingin menyampaikan bahwa, selama otonomi khusus dan system pemerintahan desentralisasi beroperasi di Papua, para elit atau petinggi-petinggi Papua belum pernah jeli melihat bahagian ini selain mahasiswa yang akan mengkritisinya dengan win-win solusi yang tertulis dalam bentuk konsep ilmiah.

Dengan demikian, dapatlah kita bertanya-tanya bahwa transportasi umum apa yang dimaksud dan Pintu dan Pekerjaan apa yang dimaksud? Berikut sesingkat ulasan penulis:

a.    Kapal putih di Pelabuhan dan Pesawat Udara di Bandara

 Merupakan pintu utama yang terbuka untuk umum bagi kaum transmigran; ‘Semakin banyak transmigrasi, akan  semakin banyak dan besar jumlah marjinalisai’ Sebagai wujud perlindungan akan rakyat Papua dari pemusnahan etnis Papua secara genosida dan pembunuhan tak terduga yang telah merajalela pula yang di duga pelaku-pelaku yang di sebut orang tak dikenal (OTK) dan lain sebutannya yang sudah begitu rumitnya menggerogoti dan mengancam  keberadaan rakyat Papua saat ini, maka sudah seharusnyalah pemerintah ambil sikap tegas terhadap transmigrasi illegal yang sama sekali tidak di temukan  bukti kontrak kerja dengan pemerintah sebagai pegawai negeri sipil (PNS) ataupun lain jenis kontrakannya agar dapat membantu mengurangi kompleksnya kecurigaan antara warga sekitar dan aparat keamanan yang ada.

Sebabnya, sebuah saran agar pemerintah jangan mengoncangkan situasi dengan pidato angin surga yang sebenarnya tidak masuk akal seperti lepas garuda depan DPRRI, mengemis OTSUS PLUS dengan menjual isu Papua merdeka dan lain sebaginya  tetapi bereskan dahulu persoalan rakyatmu, percuma mengemis otsus plus sementara rakyatmu dalam bahaya kebinasaan oleh tangan-tangan tak bertanggungjawab; Supaya rakyatmu bebas dari kesenjanngan ekonomi, social yang ada maka segera menindak lanjut sampai tuntas aksi demonstrasi mahasiswa Universitas Cenderawasih yang telah mendatangi kantor wakil rakyat Papua dengan agenda menolak transmigrasi sejak, senin 17 november 2014 lalu.

Saran ini muncul agar pemerintah daerah benar-benar menutup dan gembok betul pintu gerbang transmigrasi supaya kelak ekonomi orang Papua tidak lagi diperhadapkan dengan kecemburuan social yang akhirnya berhujung pada konflik horizontal di kalangan rakyat terkecil. Adapun setahun lagi ekonomi global/asean community akan menerobos masuk di tanah ini, tetapi setidaknya para penguasa tanah ini juga punya target-target tertentu sebagai win-win solusi demi keberlangsungan hidup masyarakat pribumi, sebabnya serius dan memperhatikan baik agar tanah dan tempat ini tidak semena-mena menjadi lahan ekonomi global dimaksud, yang hanya menuntungkan para penguasa-penguasa dunia yang haus akan kepuasan tanpa memperhatikan jeritan dan air mata masyarakat pribumi.

b.    Taksi & Ojek
     
     Mengulas sedikit mengenai titik dan jalur beroperasinya angkutan umum seperti taksi-taksi jurusan dan pangkalan-pangkalan ojek yang sudah di tetapkan sesuai ketentuan-ketentuan pemerintah daerah tentu memberikan sebuah peluang datangnya pelamar illegal dalam hal ini mereka yang bukan orang asli Papua yang datang dari berbagai pelososk nusantara semata menghidupi dirinya dengan tanpa memikirkan hak-hak dasar kehidupan masyarakat pribumi.

Sebuah sebuah fakta mengungkapkan bahwa ‘satu warga transmigrasi yang menginjakan kaki pertama di Papua akan membuat 10-20 Kartu Tanda Penduduk (KTP), kemudian kembali ke daerah asalnya membagikan KTP tadi kepada keluarga atau kerabatnya kemudian mereka yang secara resmi mendapatkan KTP tersebut memasuki daerah-daerah tertentu di seluruh Papua sesuai keterangan penduduk di KTPnya, lantaran KTP di Papua saja sudah tidak ada kekhususannya dan sama sekali tidak seperti daerah bebasis otsus selain KTP Nasional Republik Indonesia yang berlaku’.

Sebuah bukti wawancara mahasiswa dengan pendatang baru pernah terjadi sewaktu tim mahasiswa penolak transmigrasi melakukan tinjauan langsung di pintu masuk utama transmigrasi di Bandar Udara Internasional Sentani Jayapura menjelaskan demikian “salah satu warga baru yang saat di tanya, ia mengakui dirinya penduduk lama di kota Jayapura tepatnya di padang bulan, kemudian setelah di telusuri lebih lanjut dalam percakapan berikutnya bahkan dia tidak tahu benar letak geografis daerah yang di sebutnya tadi”  ironisnya, setelah diinterogasi lebih lanjut dia bahkan mengakui lebih dari lima belas orang yang ikut bersama dia dan mereka semuanya adalah benar-benar pendatang baru, lalu di tanya mengapa mereka semua mempunyai KTP? Dia mengakui juga bila, di bersama rekan-rekannya di berikan KTP sudah dari jawa (daerah asalnya) dengan biaya atau tunjangan transportasi. Pertanyaan terakhir yang dia harus jawab adalah, Siapa yang memberikan KTP dengan uang transportasi, serta tujuan utamanya di Papua akan berprofesi sebagai apa? Ternyata jawaban dari pertanyaan ini lari dari harapan. Mengapa?. Sebab yang di jawabnya adalah dia tidak tahu atau mungkin tidak berani mengukngkap pemberi KTP dan tunjangan transportasi, kemudian yang kedua adalah kedatangan mereka ini mencari nafkah hidup dengan menjadi supir taksi dan tukang ojek.

          Satu fakta diatas membuktikan bahwa krisisnya  kaderisasi terhadap banyaknya pengangguran asli Papua agar di latih menjadi supir taksi, serta pengambil alihan  mata pencaharian orang Papua dalam bidang pelayanan public seperti angkutan umum di maksud, sangat sensitive untuk di terobos pendatang. Dan hal ini sendiri pemerintah daerah terkesan seolah menutup diri! Apalagi para penggagas hukum di propinsi yang adalah lembaga keterwakilan rakayat juga boleh di kata masih menari diatas terhimpitnya kehidupan orang Papua.

 Sebab, selagi belum ada atau belum terealisasinya jaminan hukum yang mengatur bahagian ini, sangatlah besar kemungkinan bahwa ruang marjilalisasi, diskriminasi serta datangnya orang-orang baru. Pertanyaanya, mau kemanakan eksistensi indigenous people (masyarakat pribumi) yang sudah mendiami bumi Cenderawasih ini?

e.  Penegasan Tempat Usaha

Tidak terlepas dari apa yang sudah di bahas sebelumnya, bahwa, perlu dan penting adanya penegasan dalam pembuatan Surat Izin Usaha Pribadi (SIUP), Surat Izin Tempat Usaha (SITU) dan lain sebagainya. artinya supaya, setiap pedagang yang mengajukan ‘SITU’ adalah untuk usaha-usaha legal dan masuk akal. Surat izin untuk membangun bengkel, ya tentu bengkel benar! Dan bukan tempat cakar-bongkar karangan bungga dan penjualan peti mayat.

Bila kita mengamati baik fenomena unik di sekitar perkotaan di Propinsi Papua sebenarnya ada benyak usaha-usaha illegal yang bertentangan dengan nilai luhur kultur orang Papua, dan hal-hal serupa sangat tidak layak di terapkan di daerah Otsus berbasis kekentalan tradisi kebudayaan orang Papua. Sebagai anak bangsa yang mencintai budaya ingin menyampaikan sebuah filosofi bahwa, ‘Bangsa yang kuat adalah bangsa yang mengenal dan mencintai budayanya’ lalu, untuk apa pemerintah daerah yang mengatur otsus tidak menggodog sebuah aturan yang menegaskan benar-benar tidak di perbolehkan menjual hal-hal yang illegal dan bertentangan dengan budaya luhur orang Papua. Seperti penjualan peti mayat di pinggiran jalan yang sebenarnya tidak masuk diakal manusia, apalagi ini daerah mayoritas Kristen dan nilai luhur tradisi kebudayaan yang sangat kental; menurut kepercayaan luhur orang Papua bahwa hal-hal seperti penjualan peti mayat tanpa ada mayat yang tergeletak atau meninggal, itu artinya para penjual ini secara tidak langsung meminta terus berjatuhan korban nyawa demi lakunya peti mayat yang di jual.

Coba anda bayangkan sebuah doa dari seorang pedagang peti mayat sebagai orang yang bertaqwa kepada Tuhan, saat dia berdoa meminta pertolongan Tuhan atas laku atau tidaknya barang dagangan miliknya.

Semisal berikut adalah doa pedagang peti mayat dimaksud yang anda harus baca berulangkali agar lebih mengerti
“Ya, Tuhan berkatilah usaha dan karya kami ini, panggillah ke pangkuan-Mu banyak jiwa agar kami memperoleh rejekinya dari lakunya peti mayat buatan kami dan terima kasih untuk terkabulnya doa kami”.

Sementara, orang Papua ada duduk berdoa kepada Tuahn agar nyawa dan keberadaan mereka terus di pertahankan agar kematian mereka sesuai mekanisme dan prosedur yang sudah di tetapkan sang pencipta, yakni meninggal setelah usia tua dan kemampuan beraktivitasnya berkurang.

 Tetapi realita di sekitar kita berkata lain, ingat bahwa manusia di ciptakan bukan untuk kehidupannya di akhiri oleh perbuatan manusia lain yang dengan sengaja meminta kepada Tuhan untuk mencabut nyawa ataupun mengeksekusinya secara paksa oleh tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab dan tidak berlaku manusiawi.

Pertanyaanya adalah apa fungsi dan tujuan hadirnya otonomi khusus di Papua? Kenapa pemerintah daerah tidak serius menindak persoalan seperti ini? Ataukah memang mereka yang di sebut wakil rakyat adalah orang-orang tidak tahu budaya?. Sebenarnya, kami rakyat papua tidak sama sekali menginginkan uang dari padamu, tetapi yang kami butuhkan adalah keperpihakan anda sebagai wakil rakyat akan hak hidup kami di tanah leluhur kami. Mampukah kau wakil rakyat, menjadi sapu tangan yang layak menghapus jeritan air mata rakyat papua? Sadarlah bahwa tanpa rakyat, anda tidaklah lebih dari sampah kaum para kapitalis.

Foto: Sebuah Lukisan batu nisan dengan nama lengkap orang asli PAPUA, dan Peti-peti kosong yang menantikan jenazah. Bukti ini merupakan, yang selama ini di pelihara oleh pemerintah Papua untuk rakyatnya.
























Bagian: 3
Kesehatan Orang Papua

Kesehatan merupakan satu pilar primordial dari kedua pilar utama yang juga sama-sama sangat esensial dari tujuan lahirnya otsus, kesehatan orang Papua hari ini masih di bawah garis degradasi secara nasional. Semua bahagian ini selalu menjadi satu keutuhan yang bersangkut-paut. Kesehatan di Papua secara keseluruhannya terlihat fakta-fakta unik yang terjadi di luar jangkauan dan control legislative  sebagai lembaga yang bertugas mengawasi dan mengontrol tindakan nyata sukses atau tidaknya kesehatan orang Papua saat sehingga banya terjadi manipulasi data di luar pengetahuan semua pihak yang seolah merugikan yang lain dan menguntungkan sepihak. Dari fakta-fakta unik inilah, muncul sebuah pemikiran sekaligus tawaran kepada para penggagas hukum agar jeli memperhatikannya yaitu sebagai berikut:

a.  Diskriminasi Pelayanan Kesehatan

Hak asasi manusia, memang di berikan oleh Tuhan selaku sang pencipta tetapi manusia justru memperlakukannya hina dengan patokan-patokan tertentu dari perspektif suku,agama, ras budaya (SARA). Isi sara seperti ini sering dan sudah biasa menghampiri kehidupan orang Papua. Yang mengherankan disini adalah sara dimaksud berlakunya di rumah-rumah sakit, dan jika itu berlaku di benak para pelayan kesehatan. Ada apa sebenarnya? Tidak menutup kemungkinan bahwa, berawal dari minimnya petugas kesehatan yang benar-benar merasa terpanggil untuk melayani dengan hati nurani tanpa pandang isu sara negative diatas, hal-hal sedemikian dapat saja terjadi bila orang-orang yang masih belum berkembang itu belum berkembang hingga menjadi petugas kesehatan yang melakukan pendekatan emosional budaya, keluarga dengan harapan agar pelayanan ini penting untuk di pertanggungjawabkan kepada sang pencipta.

Bagaimana mereka ini dapat berkembang bila pemerintah tidak menyiapkan fasilitas pengembangan? Jangan dulu menghayal, fasilitas pengembangan yang dimaksud disini adalah, tempat untuk putra/I Papua sekolah menjadi petugas kesehatan, kekhususan yang benar-benar berkaitan erat dengan otsus kepada putra/I Papua agar kelak menjadi berkat bagi rakyat di bidang kesehatan. Kekhususan yang dimaksud disini adalah perlu adanya  realisasi perdasi/sus yang mengatur tentang peneriamaan mahasiswa/I di bidang kesehatan harus 80:20, atau agar lebih baik 100% putra/I orang Papua.

Bila, kuantitas perekrutan yang di tetapkan demikian kompleks maka, pemberlakuan jaminan dan  sarana-prasarana di tempat mahasiswa/I ini menimbah ilmupun terus di maksimalkan 100% dan jangan diluar Papua, bila ada mahasiswa/I Papua yang di bidang bersangkutan mengemban ilmunya di luar Papua maka, tidak perlu sarana-prasana tetapi perlu di falisitasi dengan jaminan biaya studi yang sesuai. Selain itu, jangan juga lepas control.

Sebab, saat pemerintah lepas control setelah memberikan jaminan studi inilah yang dinilai pemerintahan yang Papua sedang memanjakan mahasiswa/I Papua dengan uang akhrinya terlantar, konsekuensinya berhujung pada hilangnya daya juang mahasiswa, pembunuhan karakter mahasiswa dengan memanjakan uang, yang juga minim ketekunan dalam bejar mengejar prestasi positif. Malahan perlaihan isunya pada lahirnya mahasiswa/I yang tidak idealis dan kritis yang muda dibeli harga dirinya dengan seribu duaribu.

b.  Minimnya Jaminan Meminimalizir Pelayanan

Satu hal yang penting untuk diingat adalah, bukan soal makan dan minum tetapi soal nyawa orang Papua, juga buka soal saya bagaimana tetapi mereka bagaimana. Satu nyawa orang Papua itu mahal harganya, sebabnya pemerintah harus bijak dan pengabdiannya kepada rakyat, karena tanpa rakyat belumlah tentu ada yang namanya pemerintah.

Berapa banyak alokasi dana otsus untuk kesehatan apakah dapat menjawab tantangan yang ada? Kesehatan merupakan titik terakhir, akhir atau lanjutnya riwayat kehidupan, individu, kelompok, dan etnis terntu.

 Oleh karena itu, pemerintah yang berbasis otsu tidaklah harus lugas, tetapi lebih pada bagaimana tingkatan lobi yang dilakukan untuk keberlangsungan hidup rakyat pribumi ini.  Banyaklah fakta-fakta unik di seluruh pelosok negeri bahwa kebanyakan mantri, suster bahkan dokter sekalipun sudah sangat modern dengan berkembangnya era-globalisasi maka tingkat adaptasipun sudah dapat mengalahkan perilaku si bunglon.

Dengan demikian mereka tidak akan pernah mau bekerja kalau mereka tidak di jamin dengan jaminan tinggi yang sesuai kariernya, kecuali mereka yang ‘sadar’ dan dapat mencintai serta menghargai pekerjaannya sebagai suatu panggilan untuk mengabdi pada rakyat. Tidaklah penting untuk kita dapat menceritakan apa yang sedang terjadi, sebab kejadian-kejadian ini terjadinya di Papua dan kitapun berada di Papua, bukan di jawa atau di tertentu Negara di dunia ini.

 Bisa kita bergegas sebentar ke rumah-rumah sakit tapi yang di pedalaman ya! dan observasi lebih lanjut dan berkesimpulan baik serta saran untuk pemerintah agar pulang godog sebuah aturan yang menjamin keberlangsungan hidup orang Papua.. Itu boleh,, nanti bagus!

c.   Sosialisasi Hidup Sehat Mengikut Sertakan Masyarakat Ilmiah

Tidak terlepas dari yang sudah di utarakan sebelumnya, bahwa perlu adanya keterlibatan mahasiswa/I selaku masyarakat ilmiah di bidang bersangkutan terutama mahasiswa/I kedokteran dan keperawatan. Dan bahagian ini akan di fasilitasi oleh pemerintah, instansi, dan institusi terkait agar melibatkan seluruh komponen masyarakat ilmiah dalam  mensosialisasikan gaya hidup sehat, serta bahaya-bahaya penyakit menular tertentu kepada masyarakat akar rumput, dan hal ini terus terjadi selagi masih ada otonomi khusus di Papua. Bila, bahagian ini terjadi maka tidak menutup kemungkinan seluruh institusi terkait dalam hal ini lembaga pendidikan kesehatan akan terus berpartisipasi dari tahun ketahun demi mengstabilkan kelayakan hidup bebas dari penyakit mematikan di seluruh Papua.

Dengan demikian, tidaklah mungkin bila kita dapat berpidato angin surga menantikan rakyat mati diatas kekayaan alamnya. Sebab itulaha di sarankan agar hal-hal sepele ini harus di perhatikan baik dengan memberikan legitimasi dengan menggodog sebuah aturan yang dianggap penting dan mendesak bagi kelangsungan hidup orang Papua.

d.  Mengeksekusi Mati Perampas dan Pembunuh

Memang sadis bila mendengar yang namanya eksekusi mati merajalela di republic Indonesia mulai dari pengedar narkoba yang membuat sebagian umat beragama marah akan tindakan pemerintah tersebut bahkan mendapat kecaman dari negera-negara yang warga negaranya harus di eksekusi mati terutama brazil, dan Australia.

Tetapi itulah kebijakan penguasa agar kelak kehidupan berbangsa dan bernegara bebas dari pembunuhan karakter, tetapi sebagian besar yang tidak kita sadari disini adalah yang sebenarnya KORUPSI, pengidap HIV/AIDS dan NARKOBA memang berdampak double negative dan sama-sama mematikan, lalu mengapa Negara ini masih memelihara iblis pemusnah yang nantinya akan kembali menerkam tuannya dalam Negara ini pula.

 Jika, kita menyimak bahagian ini dengan baik, misalnya Korupsi, sadar dan tidak memunuh kemajuan dan daya saing bangsa, kemudian HIV/AIDS juga dapat mematikan jiwa dan mengurangi jumlah penduduk dan Narkoba pun dapat membunuh karakter bangsa. Kalau demikian maka, sebuah ususl yang harus di tindak lanjut adalah pelaku-pelaku ketiga jaringan setan ini di “EKSEKUSI MATI”, dengan cara di karantinakan terhulu lalu mengeksekusinya. Karena semakin banyak kita berkompromi semakin rumit konsekuensi yang dapat kita peroleh, sebabnya hal-hal negative dan mematikan seperti itu harunya di tuntas habis tanpa meninggalkan sedkitpun puing-puing kehancurannya.

Bagian: 4

Pendidikan Orang Papua

Pendidikan menurut penulis adalah suatu sarana yang di fungsikan sebagai alat untuk pengembangan karakter bangsa yang berbobot dan berdaya saing yang profesinal secara spiritual, intelektual. Kalau demikian, langkah-langkah apa yang harus di tempuh agar kelak pendidikan menjadi tempat/bengkel manusia serta pabrik manusai yang berkualitas? Yang pertama, pendidikan selalu bergantung pada penyediaan sarana prasarana sebagai penunjang pendidikan; Kedua, tenaga pengajar yang professional, loyal dan berjiwa besar untuk merubah peradaban dunia dengan membentuk karakter manusia.
Dan seharusnya bagian inilah yang harus terjadi di Papua juga, akan tetapi dengan mencermati adanya realita rentetan kemacetan pendidikan di Papua, yang mana Papua ini sudah dikenal istimewa dengan adanya otsus, sudah kaya raya dengan kandungan sumber daya alam seharunya prestasi implementasi pendidikan harus jauh lebih berbeda dari daerah lain di Indonesia. Tetapi kenapa roda pemerintahan di propinsi Papua ini terus meninggalkan kesan-kesan buruk bagi rakyat  di bidang pendidikan dan memang sangat tidak manusiawi dari periode ke periode? Berikut penyebab terjadinya rentetan kemacetan di bidang pendidikan menurut perspektif penulis:

a.   Diskriminasi Pendidikan Orang Papua

Memang sangat iron dan yang menjadi suatu tanda heran buruk bagi saya disini adalah jaman modern dengan canggihnya dunia yang serba maju, kok bias ya! Masih terlihat yang namanya diskriminasi di bidang pendidikan? Mengapa harus diskrimasi? Ya, karena jumlah mayoritas dan minoritas tertentu di lingkungan persekolahan, kampus-kampus yang secara berkesinambungan  terus menggemparkan budaya buruk sepanjang sejarah pendidikan di Papua selama otsus dan selama di dalam bingkai NKRI.

Saya menarik sebuah contoh di dunia kampus primadonanya propinsi Papua yakni Fakultas Kedokteran Universitas Cenderawasih; di kampus yang di juluki barometer bagi Papua ini ternyata tidak lolos dari yang yang namanya diskriminasi, sebuah pengalaman buruk yang menjadi luka dan duka bagi mahasiswa/i Papua di Fakultas ini ialah saat-saat dimana mahasiswa non-Papua yang menjadi mayoritas karena masih bebasnya jendela Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) yang melebihi kuota penerimaan seharusnya, maka oknum-oknum tertentu memutar balikan fakta amanat otonomi khusus Papua menjadi milik bersama seolah otonomi umum.

Akibatnya amanat otsus 80:20% Papau dan non-Papua, berubah menjadi 20:80% Papua dan non-Papua, yang akhirnya berkonsekuensi buruk pada terjadinya positif diskriminasi dari perspektif terntenntu. Sebab pendatang tidak saja meragukan radikalnya orang Papua yang ‘domba berbulu srigala’ tetapi mereka juga meragukan IQ atau kepintaran mahasiswa/I Papua.

Lalu yang terjadi adalah mahasiswa/I Papua tidak mendapat kesempatan sebagai manusia yang intelek dan berdaya saing sesuai  misi institusi pendidikan tetapi kami (mahasiswa) Papua seolah kuliah di jawa-bali yang kuliah dalam batas-batas tenrtentu, akhirnya banyak mahasiswa/I yang pesimis dan karena keterpaksaan akan keadaan bahkan transfer ke fakultas lain atau keluar karena kurangnya tunjangan biaya studi, sekalipun beasiswa bidikmisi atau lainnya yang di khususkan bagi mahasiswa/I yang berlatar belakang ekonomi lemah tetapi dana ini justru di larikan ke kantong-kantong mayoritas (pendatang) yang sebenarnya tidak membutuhkan bantuan tetapi karena emosional ras,  keluarga dan kerja sama antar mayoritas tersebut.

Pertanyaanya sekarang adalah kalau sudah seperti itu realitanya maka siapakah yang akan nanti mengabdi kepada rakyat kelak saat-saat pendatang yang dating menimbah ilmu menggunakan uang rakyat Papua ini kelak akan kembali ke daerha asalnya? Sangat di sayangkan nasib masa depan Papua ini kelak bila pemerintah hanya menerima laporan palsu tanpa pengawasan dan control yang jelas berdasarakan otsus.

Sebab banyak manipulasi data yang  terus berlangsung akhirnya pemerintah daerah kabupaten dan perkotaan yang ada  menyalurkan uang beasiswa kepada mahasiswa/I bukan asli Papua yang relative tidak di Papua kelak.

 Demi melurukan kelancaran hidup orang Papua, kita sama-sama berkewajiban untuk bertnaggungjwab atas apa yang tengah terjadi, biarlah yang menjadi tugas pemerintah lakukanlah sesuai kapasitas yang dimilikinya untuk bela rakyat pribumi di Papua, yang menjadi tugas pemuda, mahasiswa, gereja, serta tokoh adat dan sampai di mama-mama Papua sekalipun. Kita semua bertanggungjawab dengan cara kita masing-masing, tetapi yang terpenting adalah semua  demi keperpihakan akan hak-hak hidup orang Papua dan murni aspirasi rakyat. Jangan yang tipu-tipu nanti kita terkutuk!.

b.   Minimnya Pengawasan/Control, Meminimalizir Pengabdian

Penyebab berjalan di tempatnya kemanjuan system pendidikan orang Papua menurut pengamatan penulis selain yang sebelumnya adalah control pemerintah atau instansi terkait kepada beraneka ragam institusi pendidikan di seluruh jajaran pulau Papua. Terdapat banyak tenaga pengajar yang tahunya memakan gaji buta lalu mondar-mandir di perkotaan tanpa pedulikan siswanya yang berjerih payah mendapatkan pendidikan yang layak, selayaknya manusia yang lain di muka bumi ini. Mengapa demikian?

 Kemungkinan besar karena malas atau kurangnya jaminan pendanaan yang jelas. Bahkan bias terjadi karena karakter para pengajar inipun tidak di bentuk secara baik sejak tahapan awal studinya, sehingga yang terjadi adalah menjadi tenaga pengajar dengan motivasi harta tanpa mencintai pekerjaannya sebagai anugerah Tuhan yang patut di cintai, itu factor pertama.

Yang kedua ialah mereka yang  di tugaskan di pedalaman, ini yang memang benar-benar tidak  mengetahui betul seperti apa letak geografis tempat dia bertugas sehingga sehingga semakin ia meragukan tempat tugasnya dengan isu-isu yang tidak masuk diakal fikir manusia sehingga semua tenaga pengajar ini berlomba mencabut lotre di dalam kota.

Itu dua factor yang lagi-lagi mematikan karakter bangsa yang berkembang; Orang Papua yang tahu dan kenal tempatnyasaja sudah tidakmau bertugas di pedalaman  apalagi pendatang yang benar-benar tidak berkemampuan beradaptasi dengan lingkungan. Lagi-lagi situasinya sedemikian rupa, ironisnya adalah pemerintah justru melipat tangan menonton jeritan dan ratap tangis air mata generasi penerus bangsa ini tanpa mengambil kebijakan-kebijakan tertentu guna mengontrol dan mengawasih tenaga pengajar melalu instansi terkait, sekaligus memberantas si pemakan gaji buta tan berkontribusi positif

Selain pengawasan, juga penting adanya pengalokasian dana yang jelas dengan ketentua tertentu, kan ada otsus. Alokasikan dana dengan jumlah yang besar untuk bidang pendidikan kesehatan, dan ekonomi bukan berarti justru memanjakan tenaga kerja, ingat ‘bukan justru memanjakan’ tetapi supaya tewujud suatu misi mulia demi pertumbuhan karakter bangsa yang berkualitas baik pemerintah harus berkorban. Korban apa? Itu kan uang rakyat, berikan saja dulu, nanti kan ada pengawasan dan control yang dilakukan, kalau sampai kedapatan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme), barulah mengadukan langsung kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera seret bapak/ibu guru ini ke meja hijau meminta pertanggungjawaban. Kan begitu..nanti bagus.

c.   Minimnya kekhususan Masa depan Papua tanda

Bagian terakhir ini adalah bagaimana minimnya kehususan, dan kekhususan apa saja yang dimaksud? Kekhususan dalam pembahasan otonomi khusus bukan hal yang baru, sebab lazimnya memang begitu. Hanya saja, di dalam rana otsus itu sendiri tidak  di temukannya kekhususan yang akan memperkeruh persoalan yang sebenarnyas tidak harus ada. Misal, seperti yang telah di utarakan sebelumnya tentang tata cara perekrutan mahasiswa baru sebagai masyarakat ilmiah pada bagian sebleumnya  dalam pembahasan fakta di fakultas kedokteran di awal bagian ini. Bahwa, dengan tidak adanya kekhususuan seperti ini yang jelas keberadan otonomi khusus Papua di pertanyakan. Kenapa? Karena esensinya otsus serupa tentang kekhususan akan kaum pribumi.  Oleh sebab itu, seruan ini buka berarti kita mau membeda-bedakan manusia yang nilainya sama tetapi daerah papua ini memang sudah di kondisikan sedemikian rupa untuk hal itu oleh Negara kesatuan republic Indonesia. Dalam upaya penyelamatan masa depan papua dari ambang pintu kehancuran bila masih bergandengan tangan dengan NKRI maka,  pemerintah harusnya memberlakukan kekhususan di berbagai bidang dengan menggodok aturan tertentu, bila perlu paradigm 80:20 % di lenyapkan lalu menggunakan 100% demi jaminan keselamatan orang asli papua sebagai pewaris negeri leluhurnya  bumi cenderawsih. Terutama bidang pendidikan, perlu di tetapkan kekhususan baik dalam structural institusi yakni perekrutan seperti di kampus-kampus yang menjadi barometer bagi papua saat ini yaitu kedokteran, kesehatan, keguruan, teknik dan pertanian. Begitupun dengan pembiayaannya seperti kekhususan beasiswa oleh pemerintah kabupaten dan seterusnya, adapun hadirnya beasiswa hanya berdampak  negative seperti pembunuhan karakter mahasiswa/I, serta memusnahkan daya juang mahasiswa/I, tetapi setidaknya terus di control baik, terutama tolong realisasikan perdasi minuman  keras di papua, saya sudah sangat lelah memohon kemurahan kaum legislative dan eksekutif daerah di seluruh jajaran propinsi papua guna memusnahkan miras ini. Karena miras “Bagaikan senjata terampuh lusifer yang di utus dari neraka guna membunuh dan memusnahkan eksistensi orang papua diatas tanahnya” tapi ya sudahlah, bagian ini nanti kita bahas di lain waktu.

Bagian: 5
Pertahanan Eksistensi Orang Papua

Suatu suku bangsa di kenal besar dan berada, terbentuk terutama dari keberadaan kelompok orang di dalam satu bingkai suku bangsa tersebut, mulai dari kehidupan berkeluarga, pemukiman warga, pedesaan sampai pada perkotaan. Bila tidak adanya indigenous people (masyarakat pribumi) maka, sebuah pulau di anggap kosong/tak berpenghuni. Dengan demikian, siapa saja mau melakukan apa saja di tempat kosong tersebut sesuka hatinya pasti berlangsung aman tanpa berjatuhan korban nyawa manusia. Patutlah kita sebagai orang papua bersyukur bila kita telah menjadi penghuni pulau surge ini, dengan demikian tidak harus ada orang luar yang dapat mengklaim kalau pulau papua itu kosong tak berpenghuni. Dengan adanya masyarakat pribumi di papua maka sudah seharusnya orang luar tidak melakukan apapu sesuka hatinya di pulau surge tercinta ini, namun ironisnya kehidupan orang papua selaku ahli waris pulau surga adalah selain menjadi menjadi pewaris atau masyarakat pribumi orang papua telah dijadikan sebagai pendatang oleh pendatang dari atas tanahnya dengan masuknya penerapan budaya asing. Bagian ini perlu untuk di perhatikan baik oleh semua konspirasi elemen yang ada, terutama pemerintah jangan berpidato angin surge dengan hebatnya guna menarik simpati masyarakat lalu lenyap di bagian pertanggung jawaban. Gereja pun demikian, terlihat beberapa denominasi geraja yang pimpinan gerejanya hanya hebat berkotbah berapi-apian tanpa meberikan kontribusi nyata, lebih lagi pemerintha dan pimpinan gereja tua atau mayoritas harus meregulasi dan meninjau keberadaan gereja tidak jelas atau abu-abu yang minoritas di papua yang datang hanya untuk melenyapkan eksistensi dan idealis orang asli papua. Masyarakat ilmiah atau mahasiswapun demikian, tanpa menyadari kesenjangan social, ekonomi, kesehatan dan pendidikan; semua mahasiswa papua bereuforia dengan mengklaim dirinya orang bebas tanpa menyadari rantai raksasa yang sedang karat serta mengerogoti batang lehernya. Masyarakat adat hingga rakyat akar rumput lebih parah lagi, bagaimana masyarakat akar rumput ini akan sadar akan kehidupan yang baik kalau pemerintah, gereja dan masyarakat ilmiahnya saja sudah berantakan tak terbenahi.

Dalam rangka mempertahankan berlangsungnya kehidupan orang papua, tindakan nyata yang harus di ambil pemerintah sebaga solusi/jalan tengah menuju pencegahan akan kekeliruan penerapan otonomi khusus tidak lain adalah sebagai berikut:
1.    Regulasi khusus Pembatasan transmigrasi
Mencermati berlangsungnya konflik horizontal di beberapa tempat di papua, ternyata konflik-konflik ini muncul berawal dari kecemburuan social yang terjadi antara pendatang (non-papua) dan asli (masyarakat pribumi). Itu berarti, sudah sangat jelas bahwa kedatangan orang-orang luar yang terlalu banyak tanpa memiliki kontrak kerja dengan pemerintah setempat ini dapat menimbulkan kecemburuan yang berakibat fatal pada terjadinya konflik horizontal tadi. Kalau sudah seperti begini; maka pertanyaanya adalah apa yang akan terjadi kalau pemerintah daerah terus tertidur lelap dangan mimpi bahagianya, yang adalah tipu muslihat iblis yang sebenarnya adalah mimpi buruk. Sehingga membuatnya lambat terbangun dan terus membiarkan kontekstual ini terjadi? Semoga saja nasib kulit hitam dengan rambut keriting tidak lenyap dari bumi cenderawasi ini. Guna mengantisipasi terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan kelak kepada rakayat berkulit hitam dan berambut keriting, maka berikut langkah-langkah yang di sarankan:

a.    ‘Pengecekan keberadaan orang non-papua yang ada tanpa kepentingan yang jelas’. Pengecekan yang dimaksudkan disini adalah menyelidiki betul tentang hasil survey atau sensus penduduk, bahkan data pencatatan sipil yang ada tentang berapa jumlah rakyat pribumi dan pendatang, dengan jelas dengan segala riwayat yang dimilikinya. Bila kedapatan banyak pendatang pengangguran, dan pekerjaannya sebatas swasta atau usaha-usaha pribadi, maka pemerintah berkewajiban untuk mengarantinakan orang-orang tersebut dan pulangkan saja ke daerah asalanya sebab tidak menutup kemungkinan daerhanya membutuhkan kehadiranya, daripada di biarkan lalu menghambat mata pencaharian, keberlangsungan hidup orang papua. Biarlah pemerintah papua mengatur warga kulit hitam dan rambut keriting di papua. Kan, semua daerah ada pemerintahan propinsisampai kabupaten - kotannya yang sanggup menjamin orang-orang demikian. Bukan papua tempat sandaran hidup orang-orang tidak jelas alias pendatang yang datang hanya mencari untung pulang tinggalkan bekas luka tak terobati bagi kaum pribumi.

b.    Pemberlakuan kartu penduduk sementara & tetap. Kartu identitas merupakan sebuah legalitas yang patut dimiliki setiap insane di belahan dunia manapun demi mempertahankan jati diri sebagai keabsahan warga. Setelah melakukan peninjauan yang sedikit memakan waktu, ternyata penggunaan kartu identitas di papua juga terlalu banyak memberikan peluang sekaligus membuka ruang untuk datangnya orang-orang tidak jelas tadi. Bagaimana daerah otonomi khusus kartu penduduknya berlaku secara nasional bahkan tidak ada kekhususan yang di temukan? Kan, aneh! Pembodohan apa lagi yang di berlangsungkan pemerintah pusat terhadap pemerintah papua? Dan malapetaka apa lagi yang di biarkan DPRP membumi hanguskan rakyatnya? Agar menjaga kestabilan dan menyukseskan otsus yang di nilai gagal walau tindakan keterpaksaan tetapi bukan tindakan yang keliru, pemerintah harus mengagas sebuah aturan yang mengikat betul orang papua dan pendatang melalui pemberlakuan kartu identitas yang jelas, baik, benar dan tepat. Kartu identitas yang di utarakan ini adalah pertama: Kartu Tanda Penduduk Pribumi (KTPP), dan Kartu Tanda Penduduk Sementara (KTPS). KTPP, berlaku bagi setiap mereka yang berkulit hitam dan berambut keriting dari sorong sampai merauke demi memberikan ruang yang khusus bagi rakyat papua sesuai amanat otsus 21, dan KTPS, berlaku untuk setiap mereka yang datang menumpang di papua untuk sementara waktu karena berstudi, kontrak kerja, jalan-jalan. Setelah masa berlaku KTPS ini habis sebelum misinya berakhir, maka yang bersangkutan diberikan kesempatan untuk memperpanjang masa berlaku; tetapi jika pemilik KTPS tidak memperpanjang sesuai batas ketentuan yang sudah di berikan, maka pemerintah mengarantikan mereka lalu di pulangkan ke tempat asalnya. Hal ini, merupakan saran sebuah upaya pencegahan konkrit yang harus di realisasikan setelah memperkuat dengan menggodok sebuah legitimasi produk hukum sebelum orang Papua (Keriting dan Hitam) ini punah dari atas tanah ini. Setelah pemberlakuan KTPS, setiap mereka yang punya kontrak kerja dengan pemerintah seperti pengajar, pelayan kesehatan pegawai negeri sipil lainnya yang sudah ada (tidak perlu penambahan) KTPS berlaku bagi mereka sampai penonaktifan masa kerja artinya sampai mereka pensiun, kalau tidak lewat sebelum pensiun, setelah itu mereka harus pulang ke daerah asalnya membawa semua berkas-berkas yakni keluarga dan seisi rumahnya. Kemudian bagi mereka yang sedang mengemban pendidikan harus di pulangkan setelah di wisudah bila ingin tinggal setahun lagi maka pemerintah punya tugas untuk control sampai ia benar-benar di pulkamkan, di perketat pula bahwa penerimaan PNS harus dengan batas-batas tertentu. Tetapi bagi yang sama sekali tidak memilki kontak kerja apapun, sangat tidak layak menjadi warga propinsi papua dan Papua barat.

Bagian 6:
Rekomendasi & Kesimpulan

Setelah menyimak sebagian dari sekian banyak problema yang begitu kompleksnya, syukur saya adalah apabila kritikan serta saran dan rekomendasi ini di akomodir demi melancarkan pembangunan serta mengejar ketertinggalan dari segala segi aspek kehidupan yang ada. Dengan sangat prihatin penulis Merekomendasikan beberapa hal penting kepada mereka yang bertelinga dengan dua bola mata di gedung penguasa dan gedung wakil rakyat sana bahwa:

1.    Eksekutif beserta legislative harus meregulasi bagian tertentu dari otsus yang berpihak kepada orang asli papua sesuai amanat OTSUS 21. Dengan menggodok sebuah aturan atau perdasi, dan segera pula merealisasikannya. Terutama tentang ekonomi, pendidikan dan kesehatan. Sesuai yang sudah di bahas sebelumnya.
2.    Membuat pembatasan dan penegasan terhadapa tempat penjualan atau tempat usaha sesuai yang sarankan di bagian pertama dari pembahasan ini.
3.    Segera pulangkan orang pendatang yang pengangguran
4.    Perketat pintu masuknya warga transmigrasi dengan pengecekan KTPS dan seterunya.
5. Menjamin dan meberikan kekhususan kepada orang asli papua dengan menggodog sebuah aturan yang memberikan ruang gerak yang seluasnya kepada orang Papua, sebab anaman besar kita asean community pada awal 2016 mendatang, dan saat itu nilai tawar otsus akan menurun drastic dan kecil nilainya.
6.    Stop menjual belikan ideology orang papua dengan mengemis otonomi plus.
7.    Stop berpidato angin surga tanpa kontribusi nyata dalam bentuk perpihakan dengan produk hukum tertentu.
8.    Otonomi khusus telah gagal, otonomi apapun produk para kapitalis akan gagal juga, sebabnya perjuangkan aspirasi murni rakyat papua barat dalam wujud REFERENDUM adalah sebuah jalan kebebasan rakyat dari sekian banyak jalan yang tersedia.

Besar harapan dan doa, semoga semua fakta-fakta unik yang telah di ceritakan ini bermanfaat dalam menata kembali peradaban orang Papua yang lebih bermartabat. Sebabnya, penulis menarik beberapa kesimpulan konkrit bahwa:
1.    Ekonomi orang Papua lemah bukan karena orang Papua tidak mampu tetapi justru pemerintah menyediakan ruang kelemahan bagi orang Papua, dengan mendatangkan orang luar yang menimbulkan kecemburuan ekonomi social yang akhirnya kemandirian orang Papua dalam berbisnis dapat di punahkan oleh masuknya budaya luar tanpa control yang baik, kejadian ini seperti di muat didalam cerita ini di bagian pertama tentang ekonomi orang Papua, tentunya pemerintah melihat dengan hati nurani.
2.    Kesehatan orang Papua dapat di katakana sukses bila, fasilitasnya yang berkualitas, jaminan kesehatannya, jaminan pelayanannya. Sebabnya, kita dapat menarik kesimpulan bahwa: Sehat atau tidaknya orang Papua di tentukan oleh benar atau tidaknya pelayanan. Bukan financial yang dapat menjamin kesehatan dan keseamatan melainkan empati akan keadaan orang atau pasien. Hanya orang Papua yang dapat menyelamatkan Papua, bukan pendatang.
3.    Pendidikan orang papua selalu menjadi ukuran maju atau mundurnya Negara atau bangsa ini. Sebabnya pendidikan itu harus berjalan efektif sesuai standar yang di harapkan, walau demikian tidaklah terlepas dari pengawasan dan control yang jelas. Sebab, bapak guru jaman sekarang muridnya sama bilyard, karaoke dan yang menyenangkan hatinya.  Semenatara siswa/inya melarat menantikan ilmu di puing-puing kehancuran karakternya di sudut sekolah di pedesahan/pedalaman.
4.    Jika ingin agar papua aman, sebaiknya penerapan KTP, KTPS dan lainnya segera di perketat. Jika tidak, konflik terus terjadi karena kecemburuan social terus muncul di kalangan rakyat terkecil.  Papua harus khusus sesuai otonomi khusus, kekhususan itu perlu di terapkan agar rakyat papua merasa NKRI bagian darinya. Jika tidak, maka tidak ada jaminan sama sekali untuk Papua tetap aman, melainkan Papua ZONA DARURAT.
5.    Kesimpulan terakhir adalah REFERENDUM atau Papua ‘harus’ Merdeka

Semoga kritikan dan saran ini bermanfaat untuk kemajuan tanah Papua sebagaimana impian kita bersama. Jangan pernah salah tafsikan otonomi khusus kedalam bahasa isyaratnya menadi otonomi umum. Biarkan Papua berkembang mandiri, karena Papua tidak harus di tuntun terus Oleh pemerintah Pusat seperti anak kecil yang baru lahir. Ini adalah sebuah pikiran evaluatif penulis selaku mahasiswa yang adalah masyarakat Ilmiah di lingkungan kampus fakultas kedokteran Universitas Cenderawasih, tentang bagaimana perspektif mahasiswa tentang peran otsus di papua. sesuai UU NO.21 OTSUS 2001.

Bila terjadi sesuatu yang keliru atau, membuat pembaca tersinggung maka, penulis memohon maaf yang sedalam-dalamnya. Anggap saja penulis juga manusia yang tidak luput dari salah.
Terima Kasih! Tuhan Yesus Memberkati.
Jayapura, 19 Mei 2015
Penulis

RAFAEL DVIKTOR TIBUL
Aktivis Kampus Uncen


Comments

Popular posts from this blog

Kitalah Milenial Tulen

GOLDEN MEMORIES Indahnya generasi Yang lahir Tahun 1960-90an (yg usianya skrg 20an - 50an tahun) Sekedar anda tahu. Kita yg lahir di tahun 1960-70-80-90an, adalah generasi yg layak disebut generasi paling beruntung. Karena kitalah generasi yg mengalami loncatan teknologi yg begitu mengejutkan di abad ini, dg kondisi usia prima. ✌✊ Sebagian kita pernah menikmati lampu petromax dan lampu minyak, sekaligus menikmati lampu bohlam, TL, hingga LED Kitalah generasi terakhir yg pernah menikmati riuhnya suara mesin ketik. Sekaligus saat ini jari kita masih lincah menikmati keyboard dari laptop kita.  Kitalah generasi terakhir yg merekam lagu dari radio dg tape recorder (kadang pitanya mbulet) kita. Sekaligus kita juga menikmati mudahnya men download lagu dari gadget.  Kitalah generasi dg masa kecil bertubuh lebih sehat dari anak masa kini, karena lompat tali, loncat tinggi, petak umpet, gobak sodor, main kelereng, karetan,sumpit2an, galasin adalah permainan

SALIB Kristus Retak di Papua Dalam Dominasi Kristen KTP

Kekristenan di tanah Papua sudah tentu bukan hal yang harus di ragukan.  Kekristenan di papua berawal sejak 05 Februari 1855, saat ucapan DENGAN NAMA TUHAN KAMI MENGINJAK TANAH INI oleh dua misionaris muda Jerman, yaitu Ottow dan Geisler di Pulau mansinam manokwari. Sejak saat itulah injil di mulai dan terus di kumandangkan ke seluruh pelosok negeri ini. Itulah awal peradaban penginjilan hingga 90 persen orang Papua menyatakan diri telah menjadi kristen dan di baptis.  Selama 164 tahun lamanya orang papua menjadi kristen dan terus bergerak dalam kekristenan yang serba luarbiasa dengan multivarian denominasi yang terus berhimpun dalam organisasi besar gerejawi, serta mewartakan injil Kristus di atas tanah Papua tercinta sampai Tuhan sang pemilik injil datang kembali. Jemaat Era Digital  Dalam konteks kehidupan bergereja di Papua belakangan ini boleh dikata mengalami deformasi dari dalam tubuh gereja itu sendiri, bermula dari menjamurnya jemaat dan pemuda kristen apatis